Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2016

Mimpi Besar Indonesia: LPDP Hunters UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda tahu beasiswa LPDP? Beasiswa yang cukup diincar oleh seluruh mahasiswa-mahasiswa di Tanah Air. Beasiswa yang terdiri dari banyak program, di antaranya adalah beasiswa Magister, Tesis dan Disertasi, Beasiswa Afirmasi, Beasiswa Presidentsial, dan Beasiswa Spesialis Kedokteran. Kali ini Awardee LPDP UIN mengadakan sharing LPDP dan Coaching Gratis! Peserta kini sudah mencapai 100 orang dan membludak peminatnya, hingga akhirnya di anggap full. Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki sebuah mimpi besar untuk berkuliah lebih tinggi lagi.  More info. Oleh: Dewi Sri Tunjungsari, Koordinator LPDP Hunters UIN Batch 1

Puisiku: Darah Sang PSK

Gambar: http://www.probmr.com/data/uploads/PSK.jpg Langkah-langkahmu  Mengikuti lelaki beringas penuh nafsu itu Menunduk perih menanahan sakitnya goresan-goresan hati Noda-noda darah-darah segarmu kau relakan pada lelaki beringas seperti mereka itu. Mata-mata mereka seakan membunuhmu di kamar-kamar yang tertutup rapat yang penuh noda dan berdebu! Ku lihat dirimu menggeliat penuh cemas ingin berlari dari kehidupan gelapmu itu Ku lihat engkau menggeliat meminta pertolongan! Sebuah keterpaksaan hidup, itulah yang terenggut! Untuk membeli makanan, lauk-pauk dan sesuap nasi Demikian pula untuk anak-anakmu! Namun semuanya penuh kegelapan dunia! Kau! Kau dan kehidupan gelapmu! Kau bagaikan terasing! Lalu apa yang bisa kau lakukan? Selain mencari sebuah titik terang kehidupan!

Puisiku: Cinta Kita Telah Cacat

Gambar: http://blog.dnevnik.hr/zalauru/slike/originals/slomljeno_srce.jpg Senja telah terlihat di ufuk barat Aku duduk di tengah bebatuan karang yang berkarat Peluk hangat saat ombak mulai mendarat Mendarat menikmati cinta kita yang cacat Tak ada kata rindu yang terucap Tak ada rasa yang teresap Ya, semua harus berakhir Karena Cinta kita Telah Cacat!

Cerpen Cinta: Setumpuk Cinta Di Rumah Sunset

“Tariii... please! Aku bisa jelasin kok ke kamu!” dia memohon. Senja kali itu benar-benar murung menatapku, ia mencoba menjelaskan semuanya namun aku tak mau mendengarkannya. Ia mengejarku hingga ke arah mobil. Aku tak menggubris ucapannya lagi. “Tariii!” Ia memegang erat tanganku dan menatapku dengan mata elangnya yang tajam. “JANGAN PEGANG! JANGAN SENTUH!” aku berteriak memekik. Ku menatap balik matanya dengan penuh amarah yang berapi-api. “Pergiiii ...! Dan jangan kembali!” mataku tiba-tiba berlinang menahan pedih. Ku lihat senja mulai mengalah terhadapku. Ia melangkah mundur seraya menatapku dengan penuh rasa tidak percaya bahwa aku tidak memaafkannya. “Senja pergi dulu ya. Suatu saat jika emosimu telah meredam, aku akan datang kesini lagi. Kita sama-sama lagi menciptakan cahaya sunset. Aku senja, kamu mentari. Kita akan sama-sama lagi.” Aku masih terisak. Tak mau ku lihat kepergian sang pembual besar seperti dia. Aku sudah tak menganggap dirinya