Langsung ke konten utama

Cerpen: Bukan Anak Manja


NB: Cerita dalam cerpen ini hanya fiktif belaka dan pure imajinasi saya sebagai penulis. 

-----------------
“Kantor papa bangkrut, Ma?”
“Iya sayang, kantor papamu bangkrut. Kita akan meninggalkan semua fasilitas mewah ini dan kita tidak bisa hidup glamor seperti dulu lagi”


Pikir Indra melayang ke 10 tahun silam, dimana papanya meninggal dan akhirnya kantornya bangkrut. Selama 10 tahun Indra dan ibunya cukup bisa merasakan  hidup prihatin. Ya, selama 10 tahun Indra bisa menjadi lebih dewasa dalam menjalani sebuah kehidupan. Ia menjadi lebih bisa mengerti hidup dan menghargai jerih payah orang-orang sekitarnya.
Masih teringat di pikirnya, ia masih menjadi anak yang sangat manja saat SMA lalu, 2 kali ia pindah sekolah dengan alasan hanya tidak betah, berkali-kali ia memarahi guru privatnya dengan alasan tidak bisa mengerti apa yang ia mau saat belajar dan lain sebagainya. Seribu alasan dijadikan utama bagi ia agar ia merasakan kebahagiaan dan kepuasan.
“Pokoknya, Indra nggak mau sekolah disana lagi! Titik!” setiap Indra marah dan tidak puas ia selalu mengunci pintu kamarnya.
Indra benar-benar terpukul jika mengingat semua itu. Ia rasanya ingin memperbaiki semua masa mudanya. Meminta maaf ke kedua orangtuanya, guru-guru privatnya dan lain sebagainya. Berkali-kali ia sangat menyesal pernah menjadi anak manja.
***

Pikiran Indra kini melayang ke hari-hari dimana ia dibangunkan untuk sekolah oleh mamanya. Saat itu, pertama kali lah ia meminta untuk pindah sekolah.
“Indra, bangun Nak! Kamu sekolah tidak?” teriakan mamanya menggema seluruh sudut ruang rumahnya.
“Males ih ke sekolah itu lagi. Pokoknya Indra nggak mau sekolah internasional terus. Ngeribetin, ngebosenin.”
“Indra, masih banyak orang di luar sana yang nggak bisa sekolah. Sekarang, kamu malah ngeluh sekolah di tempat yang bagus seperti itu,” ucap Mamanya saat sudah tiba di depan pintu kamar Indra.
“Ma, nilai IP Indra itu malu-maluin! Masa Indra  kalah sama anak sekolah swasta lain yang sistemnya seperti sekolah Indra.  Padahal Indra itu saat SMP lebih pintar daripada dia!”
“Indra kamu tidak boleh tinggi hati, Sayang. Mungkin kamu kurang belajar.”
“Sudah, Ma! Berisik! Indra pokoknya nggak mau sekolah di tempat seperti itu lagi.”
***
Sore hari, dimana sore itu Indra masih tertidur di kamarnya. Guru lesnya telah datang ke rumahnya untuk mengajar. Suara teriakan Bik Imah terdengar menembus pintu kamarnya, menanggil namanya.
“Ndra, guru les mu datang nih...” Indra yang dari tadi hanya tidur-tiduran di kamar pun akhirnya bangun dengan setengah hati.
“Bik, Indra mau mandi dulu...” ucap Indra berbohong dan melanjutkan tidurnya lagi. Sudah berkali-kali Indra berbohong seperti itu. Baginya, ia sudah pintar. Baginya, yang penting ia memiliki uang dan bisa membeli nilainya dengan mudah. Semua guru privatnya pun dikekang untuk tidak jujur pada orangtua Indra. Ia wajib menutup mulut atau jika tidak mau maka ia akan dipecat.
***
“Gimana les kamu? Lancar?” tanya mamanya di suatu pagi saat makan bersama.
“Lancar, Ma!” Indra berbohong.
“Syukur deh. Sementara kamu nggak mau sekolah, les dulu saja ya. Mama lagi nyari sekolah swasta buat kamu. Yah, semoga benar kata kamu... IP kamu bisa naik di sekolah lain.”
“Indra itu pintar, Ma. Mama nggak percaya banget sih.”
“Mama percaya. Yang mama takutin kamu terlalu pede dan akhirnya juga tambah manja.”
“Mama apa-apaan sih. Indra nggak suka mama ngomong gitu. Kalau mama nggak percaya, ya sudah nggak usah panggil nama Indra lagi,” Indra manja mulai bertingkah.
 “Nak, mama capek kamu bersikap manja seperti ini terus. Kapan kamu bersikap dewasa. Apa yang bisa mama perbuat lagi. Mama capek.”
Indra hanya diam seribu bahasa sambil melangkahkan kaki dengan lantang ke kamarnya.
***
Berkali-kali orangtuanya waktu itu mengetuk pintu hatinya, namun rasanya Indra saat itu tak mau bergerak dan berkutik. Papanya pun berkali-kali juga menasihati dia, namun sepertinya hati Indra telah tertutup rapat-rapat.
“Ndra, kamu itu masih muda. Kamu itu jangan terus mengeluh kepada keadaan. Nggak selamanya kamu bisa bergantung sama mama papa.”
“Iya Indra tahu. Papa nggak usah berisik deh. Yang penting papa menuhin keinginan Indra sekarang. Nanti mama papa juga akan metik hasilnya, ya kan?” Indra selalu seperti itu dan seperti itu. Indra selalu tidak peduli dengan nasihat orangtuanya.
“Kenapa sih Indra itu anaknya susah banget dinasihati,” ucap papanya ketika Indra mengeloyor pergi.
“Entahlah, mama juga capek. Indra itu selalu seperti itu, Pa. Sudah biarkan, semoga suatu hari ia sadar.”
***
Masih Indra ingat, kalau dirinya pernah kabur dari rumah. Hati Indra benar-benar berkecamuk saat itu. Ia benar-benar tidak mau sekolah tidak mau belajar dengan guru privatnya. Seisi rumah pun gempar mencari Indra.
“Indra kemana, Bik?” tanya Papa Indra kepada Bik Imah saat itu.
“Bibi nggak  tahu dimana Indra sekarang, Pak. Tapi, Indra masih belajar kok dengan guru lesnya kemarin. Emm meski...” kata-kata Bik Imah menggantung. Ia tidak enak apabila ia bilang keadaan yang sebenarnya.
“Meski apa, Bik?” tanya orangtua Indra berbarengan.
“Maaf, Pak Bu. Bibi nggak pernah ceritakan keadaan yang sebenarnya. Saya takut sama Indra, saya takut dipecat.”
“Ceritakan pada kami, Bik. Bibi adalah orang terpercaya kami. Mana mungkin bibi kami pecat begitu saja tanpa alasan yang cukup,” Mama Indra angkat bicara. Papanya hanya mendesah khawatir.
 “Be...begini Pak, Bu... Indra tidak pernah les jika tidak ada bapak-ibu. Indra selalu hanya berdiam di kamarnya dan tertidur pulas,” ucap Bik Imah takut-takut.
“Jadiiii....!” Papanya kalut dan penuh emosi. Mama Indra mencoba menenangkan.
“Sabar, Pa.”
“Iya, Pak. Maafkan bibi nggak bisa berbuat apa-apa,” Bik Imah hanya menunduk pasrah. Ia rasanya sudah rela juga bila dipecat pada saat itu.
Situasi bertambah kacau. Papa Indra pun bertambah berang.
“Bik, kalau ada sesuatu apa-apa tentang Indra... kami mohon bibi memberitahu kami. Kami tidak mau Indra menjadi anak manja yang berkelanjutan hingga ia dewasa nanti. Bibi mengerti?” ucap Mama Indra bijak.
 “Terakhir kali ia meninggalkan rumah ini. Apa yang ia lakukan pada guru lesnya, Bi? Apa ia bolos lagi?” giliran Papa Indra yang bertanya kini.
“Astagfirullah. Bibi lupa bilang. Kemarin itu Indra memaki guru lesnya sendiri saat guru lesnya mencoba membangunkan ke kamar Indra. Ya... ya bibi ingat. Ia juga memecat guru lesnya pada detik itu juga dan akhirnya guru lesnya pun berderai air mata saat keluar dari rumah ini.”
“Masya Allah. Indra bertingkah seperti itu?” Papa dan mamanya shock luar biasa.
“Iya benar,” jawab Bik Imah.
“Masya Allah. Pa, sekarang coba kita hubungi handphone Indra. Mama juga sudah habis kesabaran, Pa...”

Tut....! Tut...! Telefon pun tersambung ke handphone Indra, tapi Indra sengaja tidak mengangkat handphonenya.
 “Anak itu sepertinya tidak akan pernah sudi mengangkat telefon kita. Sekarang handphonenya mailbox.”
Tiba-tiba saja, papanya berteriak kesakitan sambil memegang jantungnya. Semua karena tingkah Indra, papanya sakit jantung dan akhirnya dibawa ke rumah sakit.
***
Belum ada kabar tentang Indra hingga pagi menjelang. Sebersit kabar pun tak terdengar di telinga Mama Indra.
“Anak itu keterlaluan. Sudah bikin susah orangtua, sekarang susah dihubungi...” ujar mamanya marah. Rasa panik memenuhi rasa Mama Indra.
***
Indra ternyata berada di tempat temannya. Ia beristirahat disana. Saat tertidur, Indra bermimpi di suatu tempat yang gelap. Ia pun mendengar suara-suara makhluk yang menyeramkan.
 “Dimana aku?” panik Indra dalam mimpi.

Duk...! Duk...! Duk...!
Tiba-tiba sekumpulan orang menghampiri dirinya, membawa sebuah keranda yang di depannya ada foto seseorang yang masih kabur wajahnya. Kemudian, seseorang dalam keranda itu berbicara.
“Anakku Indra, Papa akan pergi meninggalkan kamu dan mama. Papa minta sama kamu kalau kamu tidak akan menjadi anak yang manja lagi, papa mohon! Nak, seusai ini semua keadaan akan berubah. Kamu yang akan mulai menjalani hidupmu sebagai sosok yang dewasa bukan menjadi anak yang manja. Sekarang, temui mamamu. Papa disana juga menunggu kamu.”

Duk...! Duk...!
Sekumpulan orang itu pun pergi meninggalkannya dengan membawa keranda yang sejak tadi di topang di atas bahu-bahu mereka.
“Ayahh!!!”
Indra terbangun dari mimpi.
“Lo kenapa, Ndra?” tanya temannya yang kaget mendengar teriakan Indra.
“Gue harus hubungi orang tua gue sekarang.” Indra pun bergegas menghubungi orangtuanya.

Tutt...! Tutt...!
“Indra?” mama Indra yang sedang di rumah sakit pun kaget saat melihat ada panggilan masuk dari Indra.
“Halo? Indra?” tanya Mama Indra.
“Iya. Mama di mana sekarang?” tanya Indra panik.
“Mama di rumah sakit sekarang, papa sakit jantung.”
“Indra kesana, Ma.”
Tutt...! Tuutt... ! Telefon terputus. Mama Indra pun terbengong-bengong pada tingkah anaknya yang mendadak perhatian itu.
***
“PAPA...!!!” saat tiba di rumah sakit, Papa Indra telah menghembuskan nafas terakhirnya. Indra sangat terpukul saat itu. Ia benar-benar merasa telah menjadi anak yang durhaka.
“Ma... Papa nggak mungkin pergi!! Nggak!!!” ucap Indra mengerang.
“Sabar, Nak. Ini ujian sayang... Papa pasti tenang disana,” ucap Mama Indra bijak meski hatinya sedang bersedih juga.
Ketika suasana sudah tenang, Indra pun menceritakan mimpinya pada ibunya. Ia pun menangis tersedu di pundak ibunya.
***
10 tahun sudah berlalu, Indra sudah mengakui segala kesalahannya pada Bik Imah, guru privatnya dan orang tuanya. Sering kali ia mengunjungi makam ayahnya untuk berdoa. Kini, Indra pun sudah menjadi seorang sarjana karena berkat usaha dan kerjanya sendiri menyekolahkan dirinya. Memang benar, seusai papanya meninggal semua keadaan menjadi berubah. Kantor ayahnya bangkrut dan Indra pun berusaha untuk menghidupkan keluarganya dengan hasil jerih payahnya sendiri. Meski begitu, Indra kagum telah menjadi dirinya yang sekarang dan bukan Indra yang dulu.
“Anak muda itu harus kreatif dan inovatif, Ndra...” seseorang menepuk pundaknya dan tertawa renyah. Indra baru sadar sejak tadi berada di depan layar komputer sambil melamun hingga melupakan kerjaannya yang menunggu deadline.
***

Cerpen ini adalah karya:
Nama: Dewi Sri Tunjungsari
Pendidikan IPS semester 3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sinopsis Film: Relationshit, "Shit" Banget Ini Film!

Director: Hardanius Larobu Writers: Alitt Susanto Stars: Jovial da Lopez, Fandy Chow, Dina Anjani, Natasha Wilona, Bayu Skak, Devina Aurel, Salshabilla Elovii SHIT! Itulah salah satu kata yang menggambarkan film ini. Trailernya saja berhasil membuat penasaran para penonton. Dari mulai kekocakan para tokoh, judul dan temanya yang benar-benar menarik sekali yakni cinta yang kerap membuat anak muda menjadi merasa dunia berjuta rasanya. SHIT! Mungkin inilah salah satu yang sering diucapkan anak muda dengan gaholnya apabila ia terjebak pada cinta yang rumit.. Antara cinta dan benci... Antara cinta dengan yang membahagiakan atau balik dengan mantan. Ya, inilah konflik dalam cerita ini. Jovial da Lopez, yang memerangkan Alit dalam tokoh ini diceritakan mengalami perdebatan hati. Ia tiba-tiba putus dengan Wina dengan suatu alasan. Padahal Wina adalah masa lalunya yang amat indah. Alit sukses menjadi penulis karena Wina. WINA dan hanya WINA. Tentunya bayang-bayang dan se

Menjadi Guru Berprestasi April 2020

Menjadi Teacher Of The Month di Fikar School tempat saya mengajar, adalah sesuatu yang membuat saya bersyukur tiada henti di 2020. Di bulan Desember 2019, saya mendapatkan peringkat teacher of the month December 2019. Di tahun 2020, saya kembali menjadi guru berprestasi di Bulan April 2020. Semoga bisa selalu berprestasi. Aamiin

Pengalaman Menjadi Guru Seni Prakarya di Sekolah dan Organisasi

Menjadi guru seni adalah suatu hal yang menyenangkan bagi saya. Memulai menjadi guru seni pada tahun 2017, kemudian founder mengintipnusantara.org dan graduatedshop membuat saya selalu mengupgrade diri untuk berkreasi. Berikut adalah beberapa karya murid-murid saya ketika saya mengajar.